Sabtu, 31 Desember 2011

Aku Ingin Seperti Ayah


Ketika mudik lebaran 1432 kemarin, ayah bercerita tentang masa kecilnya. Cerita yang membuat kami (anak-anaknya) bercucuran air mata, inilah kisahnya...

Rabu pagi yang cerah di tahun 1958 dari sebuah bilik rombeng, seperti biasa ayahku pergi menuju pasar untuk mencari nafkah sebagai kuli angkut beras dari pabrik penggilingan tua peninggalan Belanda ke warung-warung. Ibuku menyisir rapi rambutku dengan jari-jarinya yang lembut sebelum berangkat ke Sekolah Rakyat (setingkat SD). Saat itu aku kelas 2 SR. Kakak perempuanku sudah bersiap-siap berangkat ke sawah bersama ibu, bidadari berumur 11 tahun itu telah bersiap menggarap dua petak sawah milik orang lain yang 10%nya kami nikmati setiap 4 bulan. Sedangkan adikku yang masih bayi dibawa serta ke sawah.



Seperti hari-hari yang lain, pulang sekolah aku selalu bermain kejar-kejaran dengan teman-temanku. Namun hari ini aku melihat pemandangan yang berbeda, dari kejauhan aku melihat kerumunan orang di depan pintu rumahku. Aku senang karena tadinya kupikir saudaraku dari jawa sedang berkunjung, namun setelah mendekat samar-samar aku mendengar suara tangis dari dalam, aku masuk dan mendapati ibu dan kakakku sedang dihibur oleh para tetangga dalam tangisnya. Ibu yang melihatku kebingungan serta-merta memelukku erat-erat dan mengatakan bahwa ayah telah meninggal. Sontak aku berlari ke belakang rumah, menangis dan berteriak-teriak memanggil ayah. Tetanggaku segera menangkapku yang berusaha menerobos bilik pemandian jenazah ayah.

Aku yang masih berusia 8 tahun tak henti-hentinya berteriak memanggil ayah, aku meronta-ronta, aku meracau..
“Abaah…Pin ga akan bandel lagi! Pin ga akan minta yang macem-macem lagi! Pin mau nurut sama abah dan emak….”
Itulah kira-kira yang keluar dari mulutku waktu itu, beberapa tetangga yang melihatku hanya tertunduk iba. Saat itu aku menangis seharian, merasa bersalah kepada ayah. Penyesalan yang membuatku kehabisan air mata, letih dan kemudian tertidur pada sore harinya.

Dalam tidurku, aku bermimpi di datangi guruku. Dia mengusap tengkukku dan mengatakan: “Pin jangan sedih ya, Pin kan anak laki-laki, Pin harus bisa jagain emak sama kakak-adik Pin, ya?”

Aku terbangun ketika adzan isya’, aku tak sempat melihat pemakaman ayahku, tak sempat melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Di kegelapan malam aku hanya mendengar ibuku bercerita kepada para tetangga tentang kronologis meninggalnya ayahku, kepalanya terjebak pada mesin penggilingan sewaktu membetulkan mesin yang rusak. Setelah diperbaiki, ayah meminta temannya menyalakan mesin itu namun malang lengan baju ayah tersangkut. Kejadian itu berlangsung sangat cepat sehingga ayah tidak sempat menyelamatkan diri.

Kurang lebih satu bulan setelah meningganya ayah, aku berhenti dari sekolahku karena ibu tak mampu lagi membayar uang bulanan yang saat itu sebesar 10 perak/ Rp.10,-. Aku pun mengerti, karena penghasilan ibu hanya 10% dari dua petak sawah per empat bulannya. Sekali-sekali ada tetangga yang memberi semangkuk beras karena merasa kasihan dengan keadaan kami. Kami jarang sekali memakan nasi, hanya jagung tua yang ibu rebus tiap harinya, tanpa lauk, hanya garam dan sambal serta beberapa helai daun singkong yang terhidang. Setiap hari kamis dan jumat aku membawa pulang kerak nasi pemberian guru ngaji di surau. Keadaan seperti ini berlangsung selama 3 tahun.

Ketika usiaku telah mencapai 12 tahun, aku memutuskan untuk ikut tetanggaku membuka lahan di Gunung Selapan yang jaraknya 16 km dari rumahku. Lahan-lahan perkebunan yang ku garap sendiri menambah penghasilan ibu, Ya, lahan itulah yang sekarang jadi kebunku, kebun luas yang telah berhasil menyekolahkan keenam anakku hingga perguruan tinggi di pulau jawa, salah satunya di Universitas Padjadjaran. Aku hanya berharap kehidupan anak-anakku tidak seperih kehidupanku dahulu.

Setiap kali anak-anakku pergi merantau, yang aku titipkan hanya: “Berlaku jujur dan benarlah nak, walaupun kau tidak seberuntung orang lain, 2 bekal itu yang akan kau petik hasilnya suatu hari nanti.”

(Syarfin Sanam/Pin untuk anakku; Yan Outofd’box –Idul fitri 1432-)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar